Alat tenun adalah alat atau mesin untuk menenun benang menjadi tekstil (kain), salah satu jenisnya adalah alat tenun tradisional. Alat tenun ini dipakai untuk menenun sambil duduk. Fungsi dasar alat tenun sebagai tempat memasang benang-benang lungsin agar benang pakaian dapat diselipkan di sela-sela benang lungsin untuk dijadikan kain. Alat tenun tradisional terbuat dari bambu dan kayu, yang fungsinya hanya untuk mengaitkan benang lungsi. Terdapat dua ujung bilah kayu dan bambu pada alat ini. Ujung pertama dikaitkan pada tiang atau pondasi rumah, sedangkan ujung satunya diikat pada badan penenun. Pada saat menenun, posisi penenun duduk di lantai kemudian mulailah penenun menenun dengan meletakkan benang lungsi dan pakan secara bergantian.
Berbeda dengan batik, kain tenun dibuat dengan cara memadukan benang secara vertikal dan horizontal secara bergantian dengan menggunakan teknik yang menyerupai menganyam. Benang yang digunakan untuk menenun sebelumnya sudah dicelup dengan berbagai warna alami sehingga membentuk corak dan ragam hias yang mempunyai makna dan filosofi yang tinggi yang merepresentasikan adat-isitiadat dan budaya daerah setempat. Untuk menjalin benang-benang menjadi sehelai kain tenun yang indah dan benilai seni yang tinggi, digunakan alat tenun.
Saat Jepang masih menjajah Indonesia, rata-rata perempuan di Gorontalo menenun sendiri kain untuk pelindung tubuhnya. Satu lembar kain bisa memakan waktu sekitar satu hingga dua bulan, mulai dari proses memintal kapas, membuat benang, mewarnai, hingga menenun. ”Kata ibu, siapa yang tidak menenun pada masa itu, pasti dia telanjang. Jadi, mau tidak mau harus menenun”, kata Yacob.
Beberapa lembar kain tua terpampang di hadapan Yacob. Kain itu adalah hasil tenun Saidah yang tersisa, berikut alat titinggola (sebutan alat pemintal bagi masyarakat Gorontalo). Tenun yang dibuat umumnya berupa pakaian, sarung, sajadah, taplak meja, dan kain untuk menyelimuti bayi. Bahan pewarna yang digunakan juga berasal dari alam. Jingga adalah warna yang paling kentara dalam sentuhan tenun Gorontalo. Warna jingga itu berasal dari walude, serupa tanaman liar yang ditumbuk lalu direbus. Sementara warna cokelat diambil dari kulit pohon bakau, sedangkan kuning menggunakan kunyit.
Sumber:
– Wawancara Pemangku Adat Batu Da’a Bapak Samsudian Mohamad, Tanggal 7 Oktober, 2020
– Wawancara Pemangku Adat Olimeyala Djafar Rahman, Tanggal 13 Oktober, 2020
– Wawancara Pemangku Adat Bapak Isyak, Tanggal 14 oktober
– Awin Y. Lagarusu. Nilai Edukatif Dalam Tradisi Molonthalo. Dalam Jurnal Pemikiran Islam.Vol, 5.No, 2.Tahun 2019.
– La Ode Karlan, Abdul Rahmat, Mira Mirnawati, september 2019 Pendidikan Masyarakat Pada Pertunjukan Turunani Dalam Upacara Adat Gorontalo, hal:163 dan 167
– Jurnal Teknologi Pertanian Gorontalo, Adrizal Kamaruddin ,Mei 2016